CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Kamis, 05 Juni 2008

Konversi Lahan

Mengurai Tanah BSB (1)

Sepakat Mengacu Aturan yang Berlaku

PT Karyadeka Alam Lestari (KAL), pengembang Bukit Semarang Baru (BSB), yang selama ini lebih banyak diam berkait dengan penguasaan 868 ha tanah, akhirnya bicara. Di kantornya, Graha Pura, Jalan Pancoran Indah I/52 Jakarta Selatan, Selasa (12/11), Direktur Utama Timotius D Harsono menuturkan semua hal ke wartawan Suara Merdeka Setiawan Hendra Kelana, yang menuliskan secara berseri.
Kawasan BSB di Kecamatan Mijen sebelumnya kebun karet Kalimas, yakni bagian perkebunan yang dikelola PT Tatar Anyar Indonesia, penanam modal asing dari Inggris. KAL merupakan penanaman modal dalam negeri yang bergerak dalam perkebunan karet terpadu, perumahan, dan kawasan industri.

Saham perusahaan dimiliki bersama oleh keluarga Korompis, Ronald Korompis, dan Timotius D Harsono. Timotius menyatakan pengembangan kota satelit di Mijen merupakan kebijakan Pemerintah Kota yang tertuang dalam surat Wali Kota bernomor 650/4421 tertanggal 14 Desember 1997 dan Rencana Induk Kota (RIK) Semarang dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990.

Lalu, Perda Nomor 1 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 1995-2005 serta Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Bagian Wilayah Kota (BWK) IX (Kecamatan Mijen) Tahun 1995-2005. KAL sebagai penerus perkebunan Kalimas mengembangkannya menjadi kota baru dengan nama BSB.

Dia menuturkan kepemilikan lahan sekitar 868 ha itu sah sesuai dengan hukum. Tahun 1997 KAL membeli saham PT Greenvalley Indah Estate (penanam modal modal dari Inggris) yang memiliki hak kepemilikan dan pengelolaan perkebunan karet Kalimas.
Jadi bukan eks tanah negara dan KAL memiliki hak atas lahan itu beserta hak perdatanya.
''Kami membeli Rp 100 miliar.''

Konversi lahan hak guna usaha (HGU) milik KAL menjadi hak guna bangunan (HGB) seluas 868 ha merupakan konsekuensi dari Perda Nomor 5 Tahun 1985 dan Perda Nomor 2 Tahun 1990.
Kawasan tersebut dalam peraturan daerah ditetapkan sebagai salah satu pusat pertumbuhan untuk kawasan wilayah pengembangan IV. Perubahan status tanah juga disetujui Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 550.2-2555 tanggal 28 Agustus 1997.

Dia menyebutkan sejumlah dasar hukum konversi serta perpanjangan HGB. Selain Perda Nomor 2 Tahun 1990, proses didasarkan pada UU Nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA), PP Nomor 40 Tahun 1196 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah, Perda Nomor 10 Tahun 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Izin Lokasi dan Hak atas Tanah bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal, dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal.
Nuansa KKN

Wali Kota H Sukawi Sutarip SH menganggap perolehan HGB PT KAL sudah melalui prosedur. Namun itu prosedur pada masa lalu, yang tak diperkirakan bakal terlanda reformasi. Dalam kondisi seperti sekarang perolehan tanah melalui cara itu tak bisa lagi.

Dia menuturkan lahan yang dikuasai KAL adalah tanah negara. Karena itu siapa pun berhak mengajukan untuk menguasai, termasuk Pemerintah Kota.
Dia beralasan, lahan seluas itu di atas empat sertifikat induk tersebut jika berhasil menjadi milik pemerintah akan digunakan untuk kepentingan penghijauan, konservasi lahan, fasilitas umum seperti sekolah dan masjid.
''Sebagian lagi untuk lahan alternatif seperti penampungan korban bencana alam. Selama ini kami pusing karena tak memiliki lahan untuk penampungan.''

Namun dia menyatakan tidak akan menang-menangan. Semua tetap akan berjalan sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang.
''Jalur saya pasti sesuai dengan jalur hukum, yaitu ke BPN Pusat dan Menteri Dalam Negeri.''
Sejumlah organisasi kemasyarakatan pemuda dan LSM yang mengatasnamakan masyarakat Semarang mendukung upaya Wali Kota. Mereka menilai perolehan HGB KAL sarat nuansa KKN. Bahkan mereka bersedia jauh-jauh datang ke BPN Pusat di Jakarta untuk menggelar aksi menuntut pencabutan HGB atas nama perusahaan itu.

Ketika tuntutan sejumlah elemen masyarakat itu mentok pada prosedur yuridis formal yang dilakukan KAL dalam penguasaan lahan, mereka meminta penyelesaian masalah didasari prinsip keadilan dan kepentingan umum. Bahkan ada sebagian meminta permasalahan diselesaikan secara politis.
23 Dokumen

Meski muncul berbagai tuduhan atas proses konversi sertifikat, Timotius tetap akan mendasarkan diri pada aturan hukum. Dia menyatakan HGB merupakan hak perdata yang dilindungi UU dan tak bisa ditiadakan tanpa dasar hukum yang jelas.

Dia mengemukakan telah mengantongi sedikitnya 23 dokumen sebagai pendukung sertifikasi HGB. (Bersambung-13g)
Pendukung Sertifikasi

Persetujuan Presiden Nomor 361/I/PMA/1994 tanggal 18 November 1994, Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5-VIII-1996 dan Nomor 6-VIII-1996 tanggal 3 September 1996, surat Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 562/III/PMA/1997 tanggal 4 Mei 1997 dan Nomor 220/III/PMDN/1997 tanggal 27 Mei 1997, surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 550.2-2555 tanggal 28 Agustus 1997, rekomendasi Kepala Dinas Perkebunan ke Gubernur Jateng Nomor 525.2/7914 tanggal 30 Oktober 1997 dan Nomor 525.5/8802 tanggal 9 Desember 1997, surat Wali Kota Nomor 590/3087 tanggal 11 Juni 1997, dan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Nomor 460.5/30/II/1997 tanggal 16 Juni 1997.

Berikutnya, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor C2-5519 HT.01.04.th 97 tanggal 25 Juni 1997, Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor 218/T/Kehutanan/1998 tanggal 25 Mei 1999, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup/ Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor 10/MENLH/05/1999 tanggal 25 Mei 1999, serta persetujuan Kepala Badan Penanaman Modal (BPM) Jateng Nomor 37/33/III/PMDN/01 dan Nomor 40/33/III/PMDN/2001.

Lalu, Keputusan Mendagri Nomor 67/HGU/DA/80 dan 67a/HGU/DA/80, Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 67/HGU/ BPN/80/A/54, surat Wali Kota Nomor 650/4421 tanggal 14 Desember 1987, surat BPM Nomor 319/III/PMDN/1997 tanggal 29 Juli 1997, Perda Nomor 1 Tahun 1999 tentang RTRW, Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RDTRK BWK X (Mijen), surat Wakil Gubernur Jateng Nomor 525.5/24546 tanggal 6 Desember 1997, dan surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Nomor 500-387-IV-1998 tanggal 26 Maret 1998.

(sumber: SUARA MERDEKA, kamis 14 NOvember 2002)

0 komentar: